MENINGKATNYA PANAS BUMI AKIBAT PEMANASAN GLOBAL
Makalah
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata kuliah : Taksiologi
Lingkungan
Dosen Pengampu : Ibu
Lianah, M.Pd.
Disusun Oleh
M. IZZUDDIN FIKRI 113811013
ULIN NUHA 113811018
FATIMATUZ ZAHROH 113811028
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemanasan global
sudah tidak asing lagi di telinga. Karena berkaitan erat dengan lingkungan
sekitar yang makin lama makin berubah seiring dengan makin banyaknya pembakaran
minyak fosil.
Semenjak akhir
abad 20 bumi beredar isu tentang lapisan ozon semakin menipis yang diakibatkan
sebagian besar dari limbah-limbah pabrik dan hasil dari pembakaran minyak
fosil. Selama itu pula manusia mulai merangkak untuk mencari jalan keluar
bagaimana cara mengatasi pemanasan global. Karena disamping limbah-limbah
pabrik, pembalakan liar dan pembakaran lahan juga menjadi penunjang terjadinya
pemanasan global.
Sampai saat ini
banyak sekali solusi-solusi yang sudah dikampanye-kan. Mulai dari yang bersifat
lokal hingga internasional.
B.
Rumusan Masalah
Pemanasan global
atau yang bisa disebut juga dengan global
warming menjadi pokok masalah makhluk hidup saat ini, karena hal ini
berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup. Adapun beberapa masalah yang
sangat signifikan adalah :
1)
Apa
penyebab bumi semakin lama semakin panas?
2)
Apa
operasi industri memberi dampak pada pemanasan global?
3)
Bagaimana
cara menanggulangi hal ini?
4)
Apakah
AMDAL sudah tepat untuk hal ini?
C.
Tujuan Makalah
Tujuan dari
makalah ini adalah
1) Sebab-sebab mengapa bumi semakin memanas.
2) Dampak dari operasi industri pada
pemanasan global dan cara menanggulanginya.
3) Ketepatan AMDAL untuk mengatasi
permasalahan ini.
II.
PEMBAHASAN
A. Penyebab Meningkatnya Panas Bumi
Dengan meningkatnya pembangunan dewasa ini, baik di
bidang industri maupun pertanian, maka penggunaan bahan bakar fosil, terutama
batu bara dan minyak bumi, akan juga semakin meningkat. Apalagi dengan adanya
program perceptan energi pemerintah, sebagai akibat kelangkaan energi olistrik
di Indonesia. Direncanakan[1]
pemerintah akan membangun pembangkit listrik tenaga uap dengan kapasitas 10.000
MWe di seluruh Indonesia. Pembangunan ini, mau tidak mau akan memberikan asupan
emisi gas yang semakin tinggi. Seperti diketahui penggunaan bahan bakar fosil,
akan mengeluarkan emisi gas NO2 dan SO2. Apabila
konsentrasi emisi gas-gas ini, yaitu NOX dan SOX di
atmosfer tinggi, maka masing-masing akan diubah menjadi HNO3 dan H2NO4.
Adanya hidrokarbon, NO2, oksida logam Mn (II), Fe (II), Ni (II), dan
Cu (II) akan mempercepat reaksi SO2 menjadi H2SO4.
Asam nitrat (HNO3) dan asam sulfat (H2NO4)
bersama-sama dengan HCl dari emisi HCl menyebabkan derajad keasaman (pH) air
hujan menjadi rendah. Pada umumnya kisaran pH ketika terjadi hujan asam
mencapai sekitar 4,0-5,5. Kondisi ini sangat membahayakan daerah sekitarnya,
yang menerima hujan asam, termasuk hutan atau danau. Untuk dikethui bahwa
derajad keasaman (pH) optimum untuk kehidupan organism air, termasuk ikan
adalah 6,5-8,5. Sehingga kehidupan perairan akan terganggu atau bahkan mati
apabila pH air < 4 (dead point)
Di samping itu beberapa gas-gas tertentu, terutama
CFC, methane, dan CO2 yang dibebaskan ke atmosfer akan memperangkap
panas. Sinar matahari yang masuk ke atmosfer 51%-nya diserap oleh permukaan
bumi, sebagian disebarkan dan dipantulkan dalam bentuk radiasi panjang
gelombang pendek (30%) dan sebagian dalam bentuk radiasi infra merah (70%).
Radiasi infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi tertahan oleh awan. Gas-gas
CH4, CFC, NO2, CO2 yang berada di atmosfer
mengakibatkan radiasi infra merah yang tertahan akan meningkat. Hal ini
menyebabkan temperatur di atmosfer naik atau lebih tinggi.
B.
Akibat
Meningkatnya Panas Bumi
Menurut hasil penelitian IPCC (2007) semenjak tahun
1850 tercatat adanya 12 tahun terpanas, dan sebelas diantaranya terjadi dalam
12 tahun terakhir. Lebh lanjut kenaikan temperatur dari periode tahun 1850-1899
sampai periode tahun 2001-2005 tercatat sekitar 0,76oC. Berdasarkan[2]
perkiraan 50 tahun mendatang suhu bumi rata-rata akan naik 3oC, di khatulistiwa
terjadi kenaikan 1oC dan di kedua kutub naik 7oC. Keadaan
ini akan menyebabkan gunung es di kedua kutub akan melelh, dan sebagai
akibatnya permukaan air laut akan naik. Maka air laut rata-rata global
diperkirakan naik dengan laju rata-rata 1,8 mm/tahun dalam rentang waktu antara
tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut pada abad ke-20
diperkirakan sekitar 0,17 m. pemanasan global ini tentunya akan terus meningkat
dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya
penanggulangannya.
Semakin banyaknya pembakaran bakar fosil, seperti
batubara (52%), minyak bumi (28,6%), dan gas alam (8,5%) yang dibakar sampai
saat ini memungkinkan semakin banyaknya emisi gas CO2 yang
dibebaskan ke atmosfer. Apalagi dengan adanya program pemeritah, seperti yang
dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 71 Yahun 2006 Tentang Penugasan Kepada
PT PLN Persero Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik
Yang Berbahan Bakar Batubara. Pada Perpres tersebut dinyatakan pemerintah
menugaskan PT PLN (Persero) untuk membangun pembangkit tenaga listrik dengan
bahan bakar batubara berkapasitas 10.000 MW, yang tersebar diseluruh Indonesia,
denga rincian 20 unit PLTU di Pulau Jawa dan 60 unit di Luar Jawa. Dengan
adanya program ini tentunya akan menambah semakin tingginya emisi gas CO2 yang
dibebaskan ke atmosfer. Perlu diketahui untuk membangkitkan energy listrik
sebesar 10.000 MW dibutuhka batubara sebanyak 26.000.000 ton/hari atau sekitar
9,5 milyar ton/tahun. Karenanya, mengingat pertambangan batubara adalah
pertambangan terbuka, maka dengan menambang batubara harus membuka atau
menebang vegetasi yang tumbuh di atasnya. Di sisi lain, jumlah tutupan vegeasi
yang ada di daratan, dan diharapkan dapat menyerap CO2 untuk proses
fotosintesa, sudah semakin berkurang sebagai akbiat dari pembukaan hutan dan
lahan pertanian, baik untuk pemukiman, industri maupun kebakaran hutan.
Sehingga aktivitas, seperti penambangan batubara, bijih logam, yang membuka
lahan atau batuan penutup bervegetasi, akan memperparah kondisi penyerapan CO2
yang ada di atmosfer bumi. Untuk penambangan batubara, sebagai contoh, apabila
ketabalan lapisan batubara dianggap sama 5 m (umumnya berkisar antara 1-6 m),
maka untuk menambang sekitar 9,5 milyar ton diperkirakan akan membuka lapisan
tanah penutup (over borden) sekitar 247.000.000ha1 per tahunnya.
Berdasarkan hasil penelitian akibat semakin banyaknya
CO2 yang dibebaskan ke permukaan bumi, dan di sisi lain luasan tutupan
vegetasi yang semakin berkurang, maka jumlah CO2 di atmosfer bumi
terus naik dari tahun ke tahun. Lebih lanjut diinformasikan bahwa di atmosfer
setiap tahunnya terdapat kelebihan CO2 sekitar 3 metrik ton. Pada
umumnya emisi CO2 lebih banyak disuplai dari negara-negara yang
incomenya tinggi, dibandingkan dengan negara-negara lainnya.[3]
C. Penanggulangan Perubahan Iklim Global
Untuk mengatasi perubahan iklim global, menurut hasil
konferensi Bali’s UN Famework Convention
on Climate Change (UNFCCC), ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara
lain, menurunkan emisi gas-gas rumah kaca (greenhouse
gases), baik dari aktivitas industri maupun dari aktivitas penggundulan (deforestation) maupun perusakan (degradation) hutan. Untuk mengatasi
terus terus naiknya kadar CO2, ada beberapa aksi yang harus
dilakukan, yaitu :
1)
Negara maju penyebab emisi CO2 harus
membayar biaya polusi, sedangkan negara berkembang berkewajiban menurunkan
emisi CO2 dengan sustainabilitas pembangunan ditopang dengan
transfer teknologi, dana dan capacity
building dari negara maju;
2)
Di dalam negeri, Indonesia perlu menggalakkan pola
sustainabilitas pembangunan sekaligus mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan
3)
Usaha ini perlu dilaksanakan secara komprehensif dengan
semangat “total football,”
Di samping hal di atas, untuk “pabrik”
penyerap CO2 (vegetasi), mengingat hutan atau vegetasi daratan jumlahnya sudah
menurun[4]
atau sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk memanfaatkan CO2, maka perlu
dicarikan alternatif lain. Untuk mengatasi hal ini, maka pandangan harus
dialihkan pada vegetasi yang ada diperairan, khusunya pantai dan laut di
wilayah pesisir, seperti mangrove, lamun, terumbu karang, dan vegetasi lainnya,
yang ada diekosistem pesisir dan laut.[5]
D. Lubang Ozon
Ozon adalah gas yang tidak stabil, berwarna
biru, mudah mengoxidasi, dan bersifat iritan yang kuat terhadap saluran
pernapasan. Sebagaimana jelasnya, ozon didapat secara alamiah di dalam
stratosfer sebagian kecil di dalam troposfer, ozon juga merupakan konstituen
dari smog (smoke+fog). Secara artifisial ozon didapat dari berbagai sumber
seperti peralatan listrik bervoltase tinggi, peralatan sinar rontgen, dan
spektograf. Karena ozon bersifat bakterisidal, maka ozon seringkali sengaja
dibuat untuk dipakai sebagai desinfektan. [6]
Saat ini lapisan ozon di atas daerah Antartika
telah menipis dengan 90%, sehingga tertinggal 10%-nya saja. Luas daerah ysng
menipis ini diperkirakan sebesar kontinen Amerika Serikat, dan dikenal sebagai
lubang ozon (ozon hole). Dengan demikian, jumlah sinar ultra violet yang sampai
ke permukaan bumi menjadi semakin banyak. Penyebab utama terjadinya lubang ozon
adalah Chloro-Fluoro-Carbon (CFC) yang sintetis. CFC mulai diproduksi pada
tahun 1920m dan digunakan di industri sejak tahun 1930. Dan jenis CFC yang
sering digunakan adalah CFC12 dan CFC22 sebagai pendingin lemari es atau
ruangan.
Sejak tahun 1975, jumlah CFC yang memasuki
atmosfer diperkirakan sebanyak 650.000-750.000 ton per tahun. Bersama-sama
dnegn karbon tetrachloride dan metalkhloroform, CFC ini menmbh konsentrasi
organokhlorin di dalam atmosfer dari 0,7 ppb, 30 tahun lalu, menjadi 3,5 ppb
saat ini. Unsure aktif yang mengurangi lapisan ozon adalah atom khlorin yang
merupakan hasil penguraian CFC yang mengabsorbsikan UV berenersi tinggi.[7]
E.
AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang sering disingkat
dengan AMDAL, lahir karena adanya undang-undang tentang lingkungan hidup di
Amerika Serikat. National Enviromental
Plicy Act (NEPA), pada tahun 1969.[8]
Dokumen AMDAL terdiri dari :
1)
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(KA-ANDAL), dokumen ini memuat ruang lingkup dan kedalaman kajian analisis mengenai
dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan sesuai hasil proses pelingkupan;
2)
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL),
dokumen ini memuat telaah secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan
penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan berdasarkan arahan yang telah di
sepakati dalam dokumen KA-ANDAL;
3)
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL),
dokumen ini memuat berbagai upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat rencana usaha dan atau kegiatan; dan
4)
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL),
dokumen ini memuat berbagai rencana pemantauan terhadap berbagai komponen
lingkungan hidup yang telah dikelola akibat terkena dampak besar dan penting
dari rencana usaha dan atau kegiatan.
Dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL merupakan satu
rangkaian studi yang saling terkait dalam proses penyusunan maupun penilaian.
Dan dokumen ini mempunyai sanksi hokum atau pidana yang mengikat bagi setiap
perusahaan atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan. Sesuai dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 23 Tentang : pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan
pidana bagi perusak lingkungan, tersirat pada Bab IX, pasal 41 dan pasal 42.[9]
III.
KESIMPULAN
Dari makalah di atas, dapat disimpulkan
bahwa pemanasan global memiliki dampak negatif yang sangat besar bagi
keberlangsungan hidup. Mulai dari lapisan ozon yang berlubang, suhu yang semakin
meningkat dan musim yang tidak dapat diprediksi.
Maka dari itu perlu adanya gerakan
yang mengedepankan praktik daripada omongan belaka. Misalnya dengan melakukan
penanaman seribu pohon secara aktif, menghemat penggunaan bahan bakar untuk
mengurangi suhu bumi yang makin meningkat.
Disamping itu, untuk lebih
spesifiknya. Bisa dilihat dari obyeknya sehingga bisa dientukan vegetasi apa
yang bisa tumbuh dan berkembang pada obyek tersebut. Namun, dari seluruh
program penanggulangan pemanasan global, perlu diawali kesadaran dari diri
masing-masing sehingga penanggulangan bisa dilakukan dengan signifikan dan
aktif.
IV.
PENUTUP
Demikian,
makalah ini dibuat. Apa bila ada kesalahan pebulis dan kawan-kawan mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Karena kebenaran hanya ada pada Allah dan manusia
tempatnya lupa dan salah.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan kawan-kawan pada khususnya dan untuk
pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Supriharyono, Konservasi Ekosistem
Sumberdaya Hayati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Slamet, Juli Soemirat, Kesehatan
Lingkungan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2009.
Soemarwoto, Otto, Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2007
[1] Prof.
Dr. Ir. Supriharyono, MS. Konservasi
Ekosistem Sumberdaya Hayati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Hlm 248.
[2] Ibid.
Hlm 249.
[3] Ibid.
Hlm 251.
[4] Ibid.
Hlm 252.
[5] Ibid.
Hlm 253.
[6] Juli
Soemirat Slamet, Kesehatan Lingkungan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009. Hlm 57
[7] Ibid.
Hlm 50.
[8] Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007. Hlm 1
[9] Juli
Soemirat Slamet, Kesehatan Lingkungan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009. Hlm 259.
0 komentar:
Posting Komentar